Cerpen "Gaco" tersiamat mengagetkan, karena permainan inosen kanak-kanak itu ternyata mesimiliki latar belakang traumatik ibunya dieksploitasi secara seksual oleh jawara kampung. "Tarawengkal" terasa ironis ketika kesitersisihan secara seksual menyebabkan seorang lelaki mengalami problema kencing, karenanya ia bisa mengamuk melempar genting ketika isrinya kencing bersama, ketika semua orang merayakan (tahlilan) kematian. Sedangkan "Pernikahan Itu" menghadirkan fakta kalau anak dari produk 'broken home' itu hanya figuran dalam perkawinan ulang dari ibunya dan ayahnya yang bisa berulang-ulang, dan sebagai figuran ia jadi yang ditransendensikan jauh di awang-awang--bukan apa-apa dan bukan siapa, karenanya memutuskan untuk tak menikah karena trauma pernikahan orang tuanya. (Dari catatan juri, Beni Setia)
"La Rangku karya Niduparas Erlang, bahasa sebagai piranti cerita cukup disadari, kesadaran berbahasanya cukup tinggi dalam kaitan cerpen sebagai karya sastra, sehingga ceritanya nampak hidup, bukan dihidupkan dengan bahasa pesan pengarangnya, namun bahasa mensublim dalam cerita." -- S. Yoga
Prize winning short stories anthology in the 2011 Festival Seni Surabaya writing contest.
Cerpen "Gaco" tersiamat mengagetkan, karena permainan inosen kanak-kanak itu ternyata mesimiliki latar belakang traumatik ibunya dieksploitasi secara seksual oleh jawara kampung. "Tarawengkal" terasa ironis ketika kesitersisihan secara seksual menyebabkan seorang lelaki mengalami problema kencing, karenanya ia bisa mengamuk melempar genting ketika isrinya kencing bersama, ketika semua orang merayakan (tahlilan) kematian. Sedangkan "Pernikahan Itu" menghadirkan fakta kalau anak dari produk 'broken home' itu hanya figuran dalam perkawinan ulang dari ibunya dan ayahnya yang bisa berulang-ulang, dan sebagai figuran ia jadi yang ditransendensikan jauh di awang-awang--bukan apa-apa dan bukan siapa, karenanya memutuskan untuk tak menikah karena trauma pernikahan orang tuanya. (Dari catatan juri, Beni Setia)
"La Rangku karya Niduparas Erlang, bahasa sebagai piranti cerita cukup disadari, kesadaran berbahasanya cukup tinggi dalam kaitan cerpen sebagai karya sastra, sehingga ceritanya nampak hidup, bukan dihidupkan dengan bahasa pesan pengarangnya, namun bahasa mensublim dalam cerita." -- S. Yoga
Prize winning short stories anthology in the 2011 Festival Seni Surabaya writing contest.